apakah taklid diharamkan?
apakah kita harus hafal dan bisa mengemukakan dalil-dalil dalam beribadah?
apakah wahabi merupakan taklid? apakah semacam NU/Muhammadiyah juga merupakan madzhab, mazhab Muhammadiyah/NU?
apakah wajib berilmu berarti wajib bisa mengemukakan dalil-dalil dasar beribadah, bukan sekedar tahu ilmunya tapi tidak bisa mengemukakannya?
http://mahesakujenar.blogspot.com/2011/07/wahhabi-adalah-ajaran-sesat-buatan-agen.html
Aisyah Ar-ridha:
apakah kita harus hafal dan bisa mengemukakan dalil-dalil dalam beribadah?
apakah wahabi merupakan taklid? apakah semacam NU/Muhammadiyah juga merupakan madzhab, mazhab Muhammadiyah/NU?
apakah wajib berilmu berarti wajib bisa mengemukakan dalil-dalil dasar beribadah, bukan sekedar tahu ilmunya tapi tidak bisa mengemukakannya?
http://mahesakujenar.blogspot.com/2011/07/wahhabi-adalah-ajaran-sesat-buatan-agen.html
Sejarah berdarah sekte salafi wahabi
http://zulfiifani.wordpress.com/2011/03/09/review-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi/
Wahhabi adalah ajaran sesat buatan agen zionist (istri moh bin abdl wahhab adalah agen yahudi ) yg dibantu zionis british (lawrence dearabia) memberontak pada kholifah usmaniyah.
Setiap suku yg belum masuk wahabi diberi dua tawaran jelas : masuk wahabi atau diperangi sebagai org-org musyrik dan kafir (hlm. 119). Demikian seklumit dari buku ini.
Judul buku : sejarah berdarah sekte salafi wahabi.
Penulis : syaik idahram
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : 1, 2011 tebal : 280 halaman.
Buku ini diberi pengantar oleh Prof. DR. KH Said Aqil Siradj, MA yang merupakan ketua umum PBNU. Dalam pengantarnya disampaikan bahwa buku ini adalah sebuah sebuah buku yang secara ilmiah menguak kebenaran ramalan Rasululloh Shalallahu Alaihi wa Salam melalui sabdanya, akan lahir dari keturunan orang ini suatu kaum yang membaca Al-Qur’an tapi tidak sampai melewati batas tenggorokan, mereka keluar dari agama seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruan, mereka memerangi orang Islam namun membiarkan para penyembah berhala.
Hal yang membuat buku ini semakin tersebar juga karena adanya testimoni dari beberapa tokoh diantaranya Arifin Ilham yang telah menyampaikan bahwa rumah-rumah setiap muslim perlu dihiasi dengan buku penting seperti ini agar anak-anak mereka juga turut membacanya untuk membentengi mereka dengan pemahaman yang lurus, Islam adalah agama yang lembut, santun dan penuh kasih sayang.
Kemudian testimoni lain juga hadir dari Ketua MUI Ma’ruf Amin yang menyampaikan bahwa buku ini layak dibaca oleh siapapun, beliau berharap setelah membaca buku ini seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih sayangnya, rukun dengan saudaranya, santun dengan sesama umat, lapang dada dalam menerima perbedaan dan adil dalam menyikapi permasalahan.
Buku ini cukup laris karena telah dicetak sebanyak 7 kali cetakan dalam tahun 2011 ini.
Kesimpulannya :
buku ini buku yang layak disebarkan dan termasuk buku yang ilmiah. Buku ini layak dibaca dan buku ini bisa untuk mematahkan argumen-argumen dalam mengkritisi paham salafi/wahabi.
[Review] Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi
“Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala”
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, dan Ahmad)
Data Buku
Penulis: Syaikh Idahram
Penerbit: Pustaka Pesantren (Grup LKIS)
Tahun Terbit: 2011
Harga Netto: 50.000
Ketika akan memulai menulis review buku ini saya sedikit ragu. Ada sedikit ragu untuk bersiap menghadapi serangan atau bahkan hujatan dari kelompok Salafi yang kebakaran jenggot melihat kelompok mereka dikritik sedemikian rupa. Saya kira sudah jadi identitas bagi kelompok Salafi untuk ringan lisan mengkafirkan, membid’ahkan dan menyesatkan orang/kelompok yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka.
Buku ini saya temui di pameran buku di Jogja Expo Center beberapa hari lalu. Ditulis oleh seorang penulis Syaikh Idahram (yang saya sayangkan, biografi singkat penulis tidak dijelaskan sedikitpun di buku ini. Sepertinya ini nama pena). Selain penulis tersebut, buku ini juga di-endorser oleh beberapa tokoh kompeten yaitu: KH. Arifin Ilham (Pimpinan Majelis Dzikir Adz Zikra), KH. DR. Ma’ruf Amien (Ketua MUI) dan Prof. Said Agil Siraj (Ketua Umum PBNU).
KH. Ma’ruf Amien misalnya menyatakan bahwa “Buku ini layak dibaca oleh siapa pun. Saya berharap setelah membaca buku ini, seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih-sayangnya, rukun dengan saudaranya, santun dengan sesama umat, lapang dada dalam menerima perbedaan dan adil dalam menyikapi permasalahan.”
Ringkasan, Sangat Ringkas
Adapun buku ini terbagi ke dalam 6 bab pembahasan. Bab pertama, bercerita tentang seluk beluk Salafi. Saya mencatat bahwa berdirinya kelompok (atau sekte menurut penulis buku) tidak lepas pula dari kepentingan ekonomi-politik duet Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab untuk melepaskan diri dari Kekhalifahan Turki Utsmani dan mendirikan negara/pemerintahan baru. Terbukti hari ini, dinasti Raja Saudi didukung pewaris madzhab Salafi Wahabi bergandengan tangan duduk satu meja dengan pihak barat dalam banyak hal.
Bab kedua, bercerita tentang sejarah kejahatan Salafi. Susah untuk dipercaya, dan mungkin memang harus dikonfirmasi terlebih lebih lanjut. Tapi, data dan fakta yang disampaikan penulis cukuplah kuat untuk membuktikan tuduhan kejahatan ini. Beberapa peristiwa terkini, seperti pembantaian jamaah haji dari Yaman (tahun 1921) sejumlah hampir 1000 orang. Juga jamaah haji dari Iran (tahun 1986), sedikitnya 329 orang tewas dan ribuan lainnya terluka. Anda tahu kenapa jamaah Iran dibantai? Jawabannya karena mereka berdemo melaknat negeri-negeri barat. Bagaimana pendapat anda? Kalau anda tidak merasa aneh dan miris, justru saya akan mempertanyakan ke-Islaman anda…
Bab ketiga, bercerita tentang hadits-hadits Rasul tentang Salafi. Ada beberapa hadits yang diangkat, akan tetapi Hadits Bukhari, Muslim, dan Hakim sepertinya cukup mewakili: “Akan terjadi di tengah umatku perbedaan dan perpecahan. Akan muncul suatu kaum yang membuatmu kagum, dan mereka juga kagum terhadap diri mereka sendiri. Namun orang-orang yang membunuh mereka lebih utama di sisi Allah daripada mereka. Mereka baik perkataannya, namun buruk perbuatannya. Mereka mengajak kepada kitab Allah, tetapi tidak mewakili Allah sama sekali. Jika kalian menjumpai mereka, maka bunuhlah.”
Saya kira kalau kelompok umat Islam lain konsisten bertindak secara tekstual (seperti yang dipraktekkan Salafi), bisa jadi kelompok Salafi sudah dibunuh sejak dulu –tidak akan ada yang rugi saya kira. Akan tetapi, saya kira sebagian umat Islam lebih cerdas dan arif dalam melihat perbedaan sehingga tidak gegabah dan bodoh dalam bertindak.
Bab keempat, bercerita tentang fatwa-fatwa yang menyimpang dari Salafi Wahabi. Seperti biasa yang kita tahu, bahwa fatwa-fatwa mereka seringkali otoriter dan bila tidak dilaksanakan lalu kuasa bahasa bermain (sesat, kafir, bid’ah, boikot sampai halal darahnya). Saya heran hari seperti ini sempat-sempatnya memfatwakan haramnya belajar bahasa selain bahasa arab, gila bukan? Menurut Salafi belajar bahasa selain arab adalah bentuk tasyabbuh kuffar (menyerupai orang-orang kafir). Entah dimana akal sehat ditaruh pada fatwa ini. Padahal bahasa adalah ilmu alat yang amat penting, tanpa bahasa ilmu tidak akan pernah menyebar luas, dakwah pun hanya akan terjepit di lokal tertentu.
Selain fatwa aneh haram belajar bahasa lain, ada juga fatwa-fatwa janggal lain seperti: haram membawa jenazah dengan mobil, ucapan hari raya adalah bid’ah dan sesat, dsb.
Bab kelima, bercerita tentang kerancuan konsep dan manhaj Salafi. Inti dari bab ini kurang lebih senada dengan buku Prof. Said Ramadhan Al Buthi Assalafiyyah Marhalatun Zamaniyyatun mubârakatun lâ Madzhabun Islâmiyyun yang menyatakan bahwa Salafi pada dasarnya hanyalah sebuah fase sejarah bukan madzhab. Ada dua argumen yang harusnya dijadikan catatan: Pertama, bahwa kaum Salaf pun ketika itu tidak selalu seragam dalam menghadapi permasalahan. Adalah suatu kejanggalan ketika sekarang harus diseragamkan, atau jangan-jangan keseragaman ini bukan muncul dari kaum Salaf tapi justru dari pemaksaan ajaran Muhammad ibnu Abdul Wahab??
Kedua, kelompok Salafi begitu gencar mengkampanyekan anti taqlid dan madzhabiyah (Syafii, Hanbali, Hanafi dan Malik). Sayangnya, mereka tidak konsisten! Justru mereka sendiri sangat taqlid terhadap ulama mereka seperti Syekh bin Baz, Syekh bin Utsaimin, Syekh bin Fauzan, dll. Lucu bukan?? Lucu sekali…
Epilog
Hari ini perbedaan yang sifatnya furuiyah seharusnya tidak dihadapi dengan semangat bid’ah-membid’ahkan atau bahkan kafir-mengkafirkan. Itu terlalu jauh dan kasar terhadap sesama umat Islam. Kalau konsisten dengan Salaf, seharusnya akhlak Rasul mereka junjung tinggi, bukan justru akhlak Khawarij yang gemar menuduh kafir, bid’ah dan sesat.
Pada akhirnya, hari ini sudah jelas siapa musuh Islam. Sudah jelas siapa yang harus kita lawan bersama-sama. Jangan sampai kelompok anti Islam, dari Zionis maupun barat terus menertawai umat Islam yang lebih senang ribut di internal alih-alih mensolidkan diri.
Aisyah Ar-ridha:
Barangkali, penulis menggunakian nama pena karena kuatir dengan keamanannya. Penggunaan nama pena untuk buku-buku ilmiah legal formal, lihat saja nama pena “harun yahya”.Salafi:
Buku di pameran IBF itu telah saya beli dan baca. isinya sangat bagus. sangat ilmiah. referensinya cukup memadai, bahkan komplit.
Sebelum anda mengomentari, sebaiknya anda baca dulu buku tersebut. Buku tersebut juga menceritakan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh sekte Salafi Wahabi, bahkan dari sekian banyak yang mengkritisi Salafi Wahabi, mereka banyak yang diteror, diintimidasi bahkan mati. Sebagai contoh, orang yang pernah mengkritisi Wahabi lalu mati mengenaskan adalah Prof. Nashir Said yang mengkritisi bahwa, pembesar Salafi Wahabi masih ada keterkaitan erat dengan Yahudi, sehingga wajar jika mereka diam saja dengan perjuangan-perjuangan umat islam, baik di palestina, kashmir, kosovo, maupun dahulu waktu Khilafah Utsmaniyah.
Begitu juga dengan wartawan Tempo, Dr. Busyairi yang tewas di salah satu hotel di Makkah karena dia pernah mengkritisi Salafi Wahabi dalam berbagai tulisannya. Pihak kedutaan Indonesia mendapatkan ada bercak-bercak darah di hotelnya, dalam pemeriksaannya.
Tragedi-tragedi semacam itulah yang dikuatirkan oleh penulis, sepertinya. Wallahu a’lam..
Salafi:Waktu Kemunculan Mereka adalah “di Akhir Zaman” :Hadis ini adalah mukjizat Rasulullah s.a.w. yang Allah s.w.t. berikan kepadanya tentang informasi suatu kaum yang muda umurnya (hudatsâ `ul-asnân) alias belum lama (baru kemarin sore), tetapi akhlaknya melebihi umurnya, alias orang yang merasa paling pintar dan paling benar, tetapi hakikatnya bodoh (sufahâ ul-ahlâm). Persis seperti faham Wahabi yang hadir di dunia ini baru kemarin sore, yaitu baru 210 tahun yang lalu, tetapi merasa paling benar, paling bertauhid dan mengkafirkan semua orang yang tidak mengikutinya. Karena iman mereka tidak sampai melewati kerongkongannya, alias hanya di mulut saja, tidak meresap ke hati dan tidak diamalkan dalam bentuk nyata. Karena itu semua, mereka dihukumi oleh Rasulullah s.a.w. sebagai orang yang telah keluar dari agama Islam. Na’udzubillah min dzalik……
“سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.” (رواه البخاري ومسلم وأبو داود والترمي وأحمد والنسائي وغيرهم)
“Di akhir zaman nanti akan keluar segolongan kaum yang muda usianya, bodoh cara berpikirnya, mereka berbicara dengan sabda Rasulullah, namun iman mereka tidak sampai melewati kerongkongan. Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Maka apabila kamu bertemu dengan mereka bunuhlah, karena membunuh mereka mendapat pahala disisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Nasa`i, dan lainnya)
Dari hadis di atas bisa kita ambil beberapa poin tentang kaum tersebut, yaitu:
1. Waktu kemunculannya ada “di akhir zaman”. Artinya adalah, keberadaannya tidak dekat dengan zaman Rasulullah s.a.w., alias jauh. Berarti kaum yang dimaksud dalam hadis ini bukan kaum Khawarij atau pun kaumnya Musailamah al-Kadzdzab, karena kehadiran mereka masih di zaman sahabat Nabi s.a.w., tepatnya di masa khalifah rasyidah ke-4 Imam Ali ibnu Abu Thalib pada bulan Safar tahun 37 H. Periode sahabat adalah periode awal, bukan akhir. Bisa dibenarkan bila ajaran Salafi Wahabi masuk dalam kategori ini, karena ajaran Salafi Wahabi baru muncul pada abad 18 Masehi, atau 1200 tahun setelah masa Rasulullah s.a.w. Pendiri Salafi Wahabi; Muhammad ibnu Abdul Wahab baru wafat pada tahun 1206 Hijriah/1792 Masehi.
2. Usia kaum itu “berumur muda”. Poin ini bisa memiliki banyak maksud, di antaranya adalah usia pergerakan dakwahnya masih muda, atau ajaran yang dibawanya adalah ajaran muda (baru) yang tidak sama dengan sekte-sekte sebelumnya. Atau ilmunya sedikit dan belum matang sehingga dikatakan masih muda, atau cara berpikirnya pendek dan sempit disebabkan oleh pengalamannya yang masih muda. Semua kriteria ini bisa masuk ke dalam sekte Salafi Wahabi.
3. Cara berpikirnya seperti “orang bodoh”. Seseorang dikatakan bodoh jika tidak dapat menggunakan akalnya dengan baik. Karena akal dapat difungsikan sebagai tolak ukur kepandaian seseorang. Jika seseorang telah belajar ilmu agama dan memiliki banyak dalil, namun dia tidak bisa memahami dan membuat kesimpulan dari ilmu-ilmu yang telah dia pelajari, maka orang tersebut bisa dikatakan bodoh. Apalagi di saat orang lain bisa menyimpulkannya dengan baik sesuai petunjuk gurunya. Pada kenyataannya, Salafi Wahabi terlalu sempit dan kaku dalam memahami dalil, sehingga sering berbenturan dengan dalil-dalil yang lain. Itu disebabkan karena mereka tekstual (harfiyah), menolak akal dan takwil, sebagaimana fakta dan data tentang hal itu yang insyaallah akan dibahas dalam buku ini.
4. “Berbicara dengan sabda Rasulullah s.a.w., namun iman mereka tidak sampai melewati kerongkongan.” Artinya, ucapannya hanya di mulut saja, tidak meresap di hati. Mereka berdalil dengan al-Qur`an dan Sunnah, tetapi dalil-dalil yang mereka pergunakan hanya sebatas di mulut, tidak terealisasi dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, mereka menyampaikan hadis tentang persatuan, tetapi umat Islam malah mereka musuhi. Saat menyampaikan hadis Nabi s.a.w. tentang keramahan, kelembutan dan kasih-sayang, tetapi saudaranya yang muslim malah mereka caci-maki. Ucapannya bertolak belakang dengan perbuatannya, karena hanya sebatas di kerongkongan saja, tidak lebih dari itu.
5. Mereka “keluar dari agama Islam seperti anak panah yang tembus keluar”. Mereka dihukumi oleh Nabi s.a.w. sebagai orang yang telah keluar dari agama Islam (murtad) dan tidak pernah kembali lagi seperti tidak pernah kembalinya anak panah yang tembus keluar dari badan binatang buruannya. Hal itu di antaranya karena disesabkan penyimpangan akidah mereka dalam tajsim (menganggap Allah s.w.t. memiliki badan dan anggota tubuh) dan tasybih (menyerupakan Allah s.w.t. dengan makhluk) terhadap Allah s.w.t., juga disebabkan perilaku mereka yang buruk terhadap umat Islam, seperti: takfir (mengkafirkan), tabdi’ (membid’ahkan), menganggap diri paling benar, menjaga jarak dan tidak mau berteman atau menegur muslim lain di luar kelompok mereka, yang mereka istilahkan dengan hajr al-mubtadi’.
6. “Bunuhlah mereka, karena membunuh mereka mendapat pahala disisi Allah.” Nabi s.a.w. memerintahkan umatnya untuk mencegah mereka; aksi dan ajarannya. Bagi Ulil Amri diminta oleh Nabi s.a.w. untuk menumpas dan memerangi mereka, karena akibat yang ditimbulkan oleh mereka sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup umat Islam, baik dalam hal akidah, kerukunan, persatuan, ukhuwah, bahkan dakwah dan syiar kepada umat lain. Islam akan mengalami kejumudan (kebekuan), kemunduran dan perpecahan dengan kehadiran mereka.
Buku itu memang mantap!!! Tanggapi saja secara ilmiah, tapi jangan dengan caci maki seperti kebiaasaan sekte Salafi Wahabi yang dikupas habis dalam buku itu.
ini saya lampirkan buku-buku ulama yang telah membantah sekte Salafi Wahabi. Saya hanya ingin mengingatkan, jika suatu faham hanya dibantah oleh satu dua orang itu biasa. Mungkin karena iri atau sentimen. Tapi jika yang membantahnya adalah ibuan ulama dari berbagai macam negara, berbagai mazhab, dan berbagai zaman, maka perlu dijadikan perhatian. Ada apa dengan Salafi Wahabi?? Anda harus berpikir jernih.. semoga Allah SWT menunjuki kalian jalan yang lurus. amin.. Nabi saw mengingatkan umatnya melalui sabdanya untuk selalu bersama AS-SAWAD AL-A’ZHAM (kelompok mayoritas)..
Bukankah Nabi s.a.w. telah menjamin, umatnya secara umum tidak akan menjadi musyrik sebagaimana dalam sabdanya:
“إِنِّي أُعْطِيتُ مَفَاتِيحَ خَزَائِنِ الْأَرْضِ أَوْ مَفَاتِيحَ الْأَرْضِ وَإِنِّي وَاللَّهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوا بَعْدِي وَلَكِنْ أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنَافَسُوا فِيهَا.” (رواه البخاري ومسلم وأحمد والبيهقي والطبراني وابن حبان وغيرهم)
“Sesungguhnya aku telah diberikan berbagai kunci gudang-gudang dunia atau kunci-kunci dunia, dan sesungguhnya aku tidak takut (sama sekali) kalian akan musyrik setelahku, namun yang aku takutkan terhadap kalian adalah kalian memperebutkan dunia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Baihaqi, Thabarani Ibnu Hibban dan lainnya)
“لاَ تَجْتَمِع أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَة.” (رواه الترمذي والبيهقي وغيرهم)
“Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan.” (HR. Tirmidzi, Baihaqi dan lainnya)
Berikut ini adalah nama-nama para ulama yang semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta menyerang pendapat-pendapatnya yang menyimpang. Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Al Qadhi al-Mufassir Badr ad-din Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Jama’ah asy-Syafi’i (W 733 H).
2. Al Qadhi Muhammad ibnu al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.
3. Al Qadhi Muhammad ibnu Abu Bakar al-Maliki.
4. Al Qadhi Ahmad ibnu ‘Umar al-Maqdisi al-Hanbali.
Dengan fatwa empat Qadhi (hakim agung) dari empat madzhab ini, Ibnu Taimiyah dipenjara pada tahun 762 H. Peristiwa ini diuraikan dalam ‘Uyun at-Tawarikh karya Ibnu Syakir al-Kutubi dan Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu’tadi karya ibnu al-Mu’allim al-Qurasyi.
5. Syekh Shalih ibnu Abdillah al-Batha`ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudhah an-Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash Shalihin. al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad Durar al-Kaminah.
6. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibnu Abu al-Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al-Qurasyi dalam Tuffah al-Arwah wa Fattah al-Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
7. Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibnu Ibrahim as-Surrruji al-Hanafi (W 710 H) dalam I’tiraadhat ‘Ala ibnu Taimiyah fi ‘Ilm al-Kalam.
8. Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibnu Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
9. Asy-Syekh al-Faqih Ali ibnu Ya’qub al-Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya.
10. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibnu ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
11. Al Hafizh al-Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam beberapa karyanya:
• Al-I’tibar bi Baqa al-Jannah wa an-Nar.
• Ad-Durrah al-Mudhiyyah Fi ar-Radd ‘ala ibni Taimiyah.
• Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al-Anam.
• An-Nazhar al-Muhaqqaq fi al-Halif bi ath Thalaq al-Mu’allaq.
• Naqd al-Ijtima’ wa al-Iftiraq fi Masa`il al-Ayman wa ath-Thalaq.
• At-Tahqiq fi Mas`alah at-Ta’liq.
• Raf’ asy-Syiqaq ‘an Mas`alah ath-Thalaq.
12. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushuli al-Faqih Muhammad ibnu ‘Umar ibnu Makki, yang lebih dikenal dengan ibnu al-Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
13. Al-Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al-‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
• Dzakha-ir al-Qashr fi Tarajim Nubala al-‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
• Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi S.a.w..
14. Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung) di al-Madinah al-Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibnu Musallam ibnu Malik ash-Shalihi al-Hanbali (W 762 H).
15. Syekh Ahmad ibnu Yahya al-Kullabi al-Halabi yang lebih dikenal dengan ibnu Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al-Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
16. Al-Qadhi Kamal ad-Din ibnu az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
17. Al-Qadhi Kamal Shafiyy ad-Din al-Hindi (W 715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
18. Al-Faqih al-Muhaddits ‘Ali ibnu Muhammad al-Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
19. Al-Mu-arrikh al-Faqih al-Mutakallim al-Fakhr ibnu al-Mu’allim al-Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu’tadi.
20. Al-Faqih Muhammad ibnu ‘Ali ibnu ‘Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
• Risalah fi ar-Radd ‘ala ibnu Taimiyah fi Mas`alah ath-Thalaq.
• Risalah fi ar-Radd ‘ala ibnu Taimiyah fi Mas`alah az-Ziyarah.
21. Al-Faqih Abu al-Qasim Ahmad ibnu Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘ala ibnu Taimiyah.
22. Al-Faqih al-Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al-Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
23. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
24. Al-Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya :
• Bayan Zaghal al-‘Ilm wa ath-Thalab.
• An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
25. Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al-Maadd Min al-Bahr al-Muhith.
26. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibnu As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (W 768 H).
27. Al-Faqih ar-Rahhalah Ibnu Baththuthah (W 779 H) dalam karyanya Rihlah ibnu Baththuthah.
28. Al-Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra.
29. Al-Muarrikh Ibnu Syakir al-Kutubi (W 764 H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya: ‘Uyun at-Tawarikh.
30. Syekh ‘Umar ibnu Abu al-Yaman al-Lakhami al-Fakihi al-Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al
Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.
31. Al-Qadhi Muhammad as-Sa’di al-Mishri al-Akhna-i (W 750 H) dalam al-Maqalah al-Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az-Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan al-Barahin as-Sathi’ah karya al-’Azami.
32. Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq.
33. Syekh Ahmad ibnu Utsman at-Turkamani al-Juzajani al-Hanafi (W 744 H) dalam al-Abhats al-Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala ibnu Taimiyah.
34. Al-Hafizh Abd ar-Rahman ibnu Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al-Hanbali (W 795 H) dalam: Bayan Musykil al-Ahadits al-Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
35. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya:
• Ad-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Mi-ah ats-Tsaminah
• Lisan al-Mizan
• Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari
• Al Isyarah Bi Thuruq hadis az-Ziyarah
36. Al-Hafizh Waliyy ad-Din al-‘Iraqi (W 826 H) dalam al-Ajwibah al-Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala al-As`ilah al-Makkiyyah.
37. Al-Faqih al-Mu-arrikh ibnu Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh ibnu Qadhi Syuhbah.
38. Al-Faqih Abu Bakr al-Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha wa Tamarrada wa Nasaba Dzalika ila al-Imam Ahmad.
39. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibnu ‘Arafah at-Tunisi al-Maliki (W 803 H).
40. Al-‘Allamah ‘Ala ad-Din al-Bukhari al-Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syekh al-Islam. Artinya orang yang menyebutnya dengan julukan Syekh al-Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh al-Hafizh as-Sakhawi dalam Adh-Dhau al-Lami’.
41. Syekh Muhammad ibnu Ahmad Hamid ad-Din al-Farghani ad-Dimasyqi al-Hanafi (W 867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu Taimiyah fi al-I’tiqad.
42. Syekh Ahmad Zurruq al-Fasi al-Maliki (W 899 H) dalam Syarh Hizb al-Bahr.
43. Al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam al-I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
44. Ahmad ibnu Muhammad Yang dikenal dengan Ibnu Abd as-Salam al-Mishri (W 931 H) dalam al-Qaul an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibnu Nashir.
45. Al-‘Alim Ahmad ibnu Muhammad al-Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968 H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.
46. Al-Bayyadhi al-Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam.
47. Syekh Ahmad ibnu Muhammad al-Witri (W 980 H) dalam Raudhah an- Nazhirin Wa Khulashah Manaqib ash- Shalihin.
48. Syekh Ibnu Hajar al-Haytami (W 974 H) dalam karya-karyanya;
• Al-Fatawi al-hadis iyyah
• Al-Jawhar al-Munazhzham fi Ziyarah al-Qabr al-Mu’azhzham
• Hasyiyah al-Idhah fi Manasik al-Hajj
49. Syekh Jalal ad-Din ad-Dawwani (W 928 H) dalam Syarh al-‘Adhudiyyah.
50. Syekh ‘Abd an-Nafi’ ibnu Muhammad ibnu ‘Ali ibnu ‘Arraq ad-Dimasyqi (W 962 H) seperti dijelaskan dalam Dzakha-ir al-Qashr fi Tarajim Nubala al-‘Ashr, hlm. 32-33, buah karya Ibnu
Thulun.
51. Al-Qadhi Abu Abdullah al-Muqri dalam Nazm al-La-ali fi Suluk al-Amali.
52. Mulla ‘Ali al-Qari al-Hanafi (W 1014 H) dalam Syarh asy-Syifa li al-Qadhi ‘Iyadh.
53. Syekh Abd ar-Ra-uf al-Munawi asy -Syafi’i
(W 1031 H) dalam Syarh asy-Syama-il li at-Tirmidzi.
54. Al-Muhaddits Muhammad ibnu ‘Ali ibnu ‘Illan ash-Shiddiqi al-Makki (W 1057 H) dalam risalahnya al-Mubrid al-Mubki fi ar-Radd ‘ala ash-Sharim al-Munki.
55. Syekh Ahmad al-Khafaji al-Mishri al-Hanafi (W 1069 H) dalam Syarh asy-Syifa li al-Qadhi ‘Iyadh.
56. Al-Muarrikh Ahmad Abu al-‘Abbas al-Muqri (W 1041 H) dalam Azhar ar-Riyadh.
57. Syekh Ahmad az-Zurqani al-Maliki (W 1122 H) dalam Syarh al-Mawahib al-Ladunniyyah.
58. Syekh Abd al-Ghani an-Nabulsi (W 1143 H) dalam banyak karya-karyanya.
59. Al-Faqih ash-Shufi Muhammad Mahdi ibnu ‘Ali ash Shayyadi yang terkenal dengan ar-Rawwas (W 1287 H).
60. As-Sayyid Muhammad Abu al-Huda ash-Shayyadi (W 1328 H) dalam Qiladah al-Jawahir.
61. Al-Mufti Musthafa ibnu Ahmad asy-Syaththi al-Hanbali ad-Dimasyqi (W 1349 H) dalam karyanya an-Nuqul asy-Syar’iyyah.
62. Mahmud Khaththab as-Subki (W 1352 H) dalam ad-Din al-Khalish atau Irsyad al-Khalq Ila ad-Din al-Haqq.
63. Mufti Madinah asy-Syekh al-Muhaddits Muhammad al-Khadhir asy-Syinqithi (W 1353 H) dalam karyanya Luzum ath-Thalaq ats-Tsalas Daf’uhu Bi Ma La Yastathi’ al-‘Alim Daf’ahu.
64. Syekh Salamah al-‘Azami asy-Syafi’i (W 1376 H) dalam al-Barahin as-Sathi’ah fi Radd Ba’dh al-Bida’ asy-Sya-i’ah dan beberapa makalah dalam surat kabar Mesir al-Muslim.
65. Mufti Mesir Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W 1354 H) dalam karyanya Tathhir al-Fuad Min Danas aI I’tiqad.
66. Wakil Syekh al-Islam pada Daulah Utsmaniyyah (Dinasti Bani Utsman) Syekh Muhammad Zahid al-Kawtsari (W 1371 H) dalam beberapa karyanya:
• Maqalat al-Kawtsari
• At-Ta’aqqub al-Hatsits lima Yanfihi Ibnu Taimiyah mi al-hadis
• Al Buhuts al-Wafiyyah fi Mufradat Ibnu Taimiyah
• Al Isyfaq ‘Ala Ahkam ath- Thalaq
67. Ibrahim ibnu Utsman as-Samnudi al-Mishri dalam karyanya Nushrah al-Imam as-Subki bi Radd ash-Sharim al-Munki.
68. ‘Alim Makkah Muhammad al-‘Arabi at-Tabban (W 1390 H) dalam Bara-ah al-Asy’ariyyin Min ‘Aqa-id al-Mukhalifin.
69. Syekh Muhammad Yusuf al-Banuri al-Bakistani dalam Ma’arif as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.
70. Syekh Manshur Muhammad ‘Uwais dalam Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyyan.
71. Al-Hafizh Syekh Ahmad ibnu ash-Shiddiq al-Ghummari al-Maghribi (W 1380 H) dalam beberapa karyanya, di antaranya:
• Hidayah ash-Shaghra
• Al Qaul al-Jaliyy
72. Asy-Syekh al-Muhaddits Abdullah al-Ghimari al-Maghribi (W 1413 H) dalam banyak karyanya, di antaranya:
• Itqan ash-Shan-‘ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah
• Ash-Shubh as-Safir fi Tahqiq Shalah al-Musafir
• Ar-Rasa-il al-Ghammariyyah
73. Al Musnid Abu al-Asybal Salim ibnu Jindan (W 1969 H) dari Jakarta Indonesia dalam karyanya al-Khulashah al-Kafiyah fi al-Asanid al-‘Aliyah.
74. Hamdullah al-Barajuri, ‘Alim Saharnapur dalam al-Bashair Li Munkiri at-Tawassul Bi Ahl al-Qubur.
75. Syekh Musthafa Abu Sayf al-Hamami. Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dalam karyanya Ghawts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad. Buku ini mendapat persetujuan dan rekomendasi dari beberapa ulama besar, di antaranya; Syekh Muhammad Sa’id al-‘Arfi, Syekh Yusuf ad-Dajwi, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Syekh Muhammad al-Buhairi, Syekh Muhammad Abd al-Fattah ‘Inati, Syekh Habibullah al-Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah al-‘Arabi dan Syekh Muhammad Hifni Bilal.
76. Muhammad ibnu Isa ibnu Badran as-Sa’di al-Mishri
77. As-Sayyid Syekh al-Faqih Alawi ibnu Thahir al-Haddad al-Hadhrami.
78. Mukhtar ibnu Ahmad al-Muayyad al-‘Adzami (W 1340 H) dalam Jala’ al-Awham ‘An Madzahib al-A-immah al-‘Izham Wa at-Tawassul Bi Jahi Khair al-Anam ‘Alaihi ash-Shalatu Wa as-Salam yang beliau tulis sebagai bantahan terhadap buku Ibnu Taimiyah; Raf’ al-Malam.
79. Syekh Ismail al-Azhari dalam Mir-at an-Najdiyyah.
80. KH. Muhammad Ihsan dari Jampes Kediri Jawa timur dalam Kitabnya Siraj ath-Thalibin
81. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (W 1366 H/1947 R), Rais Akbar Nahdhatul Ulama dari Jombang Jawa Timur, dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
82. KH. Ali Maksum (W 1989 R), Rais ‘am Nahdhatul Ulama IV dari Yogyakarta Jawa Tengah dalam bukunya Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
83. KH Abu al-Fadhl ibnu Abd asy-Syakur, dari Senori Tuban Jawa Timur dalam kitabkitabnya, di antaranya:
• Al-Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma Bi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
• Syarh al-Kawakib al-Lamma’ah.
84. KH. Ahmad Abdul Hamid dari Kendal Jawa Tengah dalam Bukunya ’Aqa-id Ahlussunnah Wal Jama’ah.
85. KH Siradjuddin ‘Abbas (W 1401 H/1980 R) dalam banyak karyanya:
• I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah.
• 40 Masalah Agama, jilid IV.
86. Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ash-Shaulati (W 1997 M) Ampenan Pancor Lombok NTB dalam bukunya Hizb Nahdhatul Wathan Wa Hizb Nahdhatul Banat.
87. K.H. Muhammad Muhajirin Amsar ad-Dari (W 2003 R) dari Bekasi Jawa Barat dalam salah satu risalah yang beliau tulis.
88. AlHabib Syekh al-Musawa ibnu Ahmad al-Musawa as-Segaf; Penasehat Umum Perguruan Tinggi dan Perguruan Islam Az Ziyadah, Klender, Jakarta Timur.
89. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami Mantan Ketua Umum MUI Propinsi DKI Jakarta 1990-2000 dalam bukunya Taudhih al-Adillah.
90. KH. Ahmad Makki Abdullah Mahfudz Sukabumi Jawa Barat dalam Bukunya Hishnu as-Sunnah Wal Jama’ah fi Ma’rifat Firaq Ahl al-Bid’ah.
91. Syekh Abdullah Tha’ah dan para ulama semasanya. Beliau membantah Ibnu Taimiyah dalam bukunya al-Fatawa al-‘Aliyyah yang beliau tulis pada tahun 1932. Buku ini memuat fatwa para ulama, para Imam, pengajar dan para mufti serta para Qadhi di Makkah, yang sebagian berasal dari Indonesia, Thailand dan lain-lain. Mereka menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah sesat dan menyesatkan. Berikut nama para ulama yang turut menghadiri majlis pernyataan fatwa tersebut serta menandatanganinya, yaitu: Sayyid Abdullah –Mufti Madzhab Syafi’i di Makkah-, Syekh Abdullah Siraj –pimpinan para Qadhi dan Kepala para ulama Hijaz-, Syekh Abdullah ibnu Ahmad –Qadhi Makkah-, Syekh Darwisy –Amin Fatwa Makkah-, Muhammad ‘Abid ibnu Husain –Mufti Madzhab Maliki di Makkah-, Syekh Umar ibnu Abu Bakr Bajuneid –Wakil Mufti Madzhab Hanbali di Makkah-, Syekh Abdullah ibnu Abbas –Wakil Qadhi Makkah-, Syekh Muhammad Ali ibnu Husein al-Maliki –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Syekh Ahmad al-Qari –Qadhi Jeddah-, Syekh Muhammad Husein –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Syekh Mahmud Zuhdi ibnu Abdur Rahman –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Muhammad Habibullah ibnu Maayaabi –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Abdul Qadir ibnu Shabir al-Mandayli (Mandailing-Sumut) –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Mukhtar ibnu ‘Atharid al-Jawi (asal Jawa) –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Sa’id ibnu Muhammad al-Yamani –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Syekh Muhammad Jamal ibnu Muhammad al-Amir al-Maliki –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Sayyid ‘Abbas ibnu ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Abdullah Zaydan asy-Syinqithi –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Mahmud Fathani (asal Thailand) –Seorang pengajar di Makkah, Syekh Hasanuddin ibnu Syekh Muhammad Ma’shum asal Medan Deli-Sumut.
92. Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi, Seorang Imam Madzhab Syafi’i di Makkah asal Minangkabau Sumatera dalam bukunya al-Khiththah al-Mardhiyyah.
93. Syekh Muhammad Ali Khathib Minangkabau, Murid Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi, dalam kitabnya Burhan al-Haqq. Beliau juga telah mengumpulkan para ulama di Sumatera untuk membantah Rasyid Ridha penulis al-Manar dan para pengikutnya di Indonesia.
94. Syekh Abdul Halim ibnu Ahmad Khathib al-Purbawi al-Mandayli, Murid Syekh Mushthafa Husein, pendiri Pon-Pes. al-Mushthafawiyyah, Purba Baru, Sumut dalam risalahnya Kasyf al-Ghummah yang beliau tulis tahun 1389 H -12/8/1969.
95. Syekh Abdul Majid Ali (W. 2003) Kepala Kantor Urusan Agama daerah Kubu-Riau, Sumatera, salah seorang ulama kharismatik dan terkenal di daerah tersebut. Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan menyatakan bahwa gurunya Syekh Abdul Wahab Panay-Medan juga mengkafirkan Ibnu Taimiyah.
96. K.H. Abdul Qadir Lubis, pimpinan Pon.Pes. Dar at-Tauhid, Mandailing-Sumut (W. 2003). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah di sebagian majlisnya.
97. K.H. Muhammad Sya’rani Ahmadi Kudus Jawa Tengah dalam bukunya al-Fara-id as-Saniyyah wa ad-Durar al-Bahiyyah yang beliau tulis pada tahun 1401 H. Dalam buku ini beliau menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah seorang Musyabbih Mujassim (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim -benda-).
98. K.H. Muhammad Mashduqi Mahfuzh, Ketua Umum MUI Jawa Timur dalam bukunya al-Qawa’id al-Asasiyyah li Ahlissunnah Wal Jama’ah.
99. Syekh al-Muhaddits al-Faqih Abdullah al-Harari al-Habasyi dalam kitabnya al-Maqalaat as-Sunniyyah Fi Kasyf Dhalalaat Ahmad ibnu Taimiyah.
okoh-tokoh Ulama Terkemuka Yang Hidup Sezaman dengan Pendiri Salafi Wahabi, Muhammad ibnu Abdul Wahab yang Membantah Ajaran Sesatnya:
1. Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab at-Tamimi an-Najdi (w 1208 H) saudara kandungnya Ibnu Abdul Wahab, pendiri sekte Salafi Wahabi. Syaikh Sulaiman jauh lebih pandai dan lebih alim dari Ibnu Abdul Wahab, dia seorang tokoh ulama Fikih mazhab Hanbali yang juga menjabat sebagai qadi Najd. Dia menulis dua buku membantah faham sesat adiknya itu, yaitu kitab Fashl al-Khithab fi ar-Radd ‘ala Muhammad ibnu Abdul Wahab dan kitab ash-Shawa’iq al-Ilahiyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah. Dia termasuk penentang yang paling keras terhadap kesesatan adiknya itu. Buku ini telah dicetak.
2. Syaikh Sulaiman bin Suhaim bin Ahmad bin Suhaim al-Hanbali an-Najdi (1181-1230 H), seorang tokoh ulama fikih Hanbali di Riyadh. Orangtuanya juga tokoh ulama terkemuka yang menentang ajaran Muhammad ibnu Abdul Wahab. Mereka berasal dari kabilah Anzah. Setelah Salafi Wahabi menguasai daerah Riyadh, Ibnu Suhaim ini hijrah ke Zubair dan wafat di sana. Karena perseteruannya dengan Muhammad bin Abdul Wahab, dia dianggap kafir oleh Salafi Wahabi dan digelari sebagai al-Bahim (binatang). Begitulah akhlak pendiri Salafi Wahabi terhadap orang-orang yang tidak setuju dengan dakwahnya.
3. Syaikh Muhammad ibnu Abdurrahman ibnu Afaliq al-Hanbali dari daerah Ahsa. Dia seorang ulama besar Ahsa dan tokoh ulama fikih terkemuka. Memiliki banyak karya dalam bidang fikih dan ilmu falak. Di antara bukunya yang membantah Wahabi adalah TaHakkum ul-Muqallidîn bi man idda’a Tajdîd id-Dîn. Dialah penyebab Utsman bin Muammar, gubernur Uyainah, menjaga jarak dari Ibnu Abdul Wahab dan meninggalkannya. Ini menandakan kedalaman ilmu Ibnu Afaliq dalam berdialog dengan Gubernur tersebut sehingga menerima alasan logis dan dalil-dalil yang dia ungkapkan. Karena itu, Ibnu Abdul Wahab mengkafirkannya dengan tuduhan kafir akbar, gara-gara menolak dakwahnya.
4. Syaikh Abdullah ibnu Isa al-Muwayis at-Tamimi (w 1175 H), ulama Najd ini seorang faqih dari Huraimila. Hijrah ke Syam untuk menuntut ilmu dari as-Safaraini. Dialah yang berhasil meyakinkan Ibnu Suhaim untuk berhenti memberikan dukungan kepada Ibnu Abdul Wahab karena belum mengenali hakikat dakwahnya yang sebenarnya, sehingga ia pun menarik dukungannya. Inilah yang membuat pendiri Wahabi tersebut murka dan mengkafirkannya sekafir-kafirnya.
5. Syaikh Abdullah ibnu Ahmad ibnu Suhaim (w 1175 H), seorang faqih dari daerah Majma’ah, Qasim. Tokoh ulama fikih bermazhab Hanbali ini adalah seorang qadi di semenanjung Sudair, menentang dakwah Salafi Wahabi karena sikap berlebih-lebihannya dalam mengkafirkan umat Islam.
6. Syaikh Muhammad bin Abd al-Lathif, gurunya Ibnu Abdul Wahab yang berasal dari Ahsa ini termasuk penentang keras ajaran muridnya yang dia anggap sesat itu.
7. Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Fairuz al-Ahsai (w 1216 H). Dia hijrah ke Bashrah setelah Salafi Wahabi menguasai daerah Ahsa pada masa Abdul Aziz bin Muhammad. Ayah dan kakenya adalah ulama Hanbali terkemuka. Dia adalah ulama yang sangat disegani dan dipandang oleh Sultan Turki Utsmani. Ibnu Fairuz adalah penentang keras dakwah dan ajaran Ibnu Abdul Wahab. Oleh karena itu dia dikafirkan sekafir-kafirnya dan dikatakan telah keluar dari agama Islam.
8. Syaikh Muhammad bin Ali Salum (w 1246 H). Dia melarikan diri ke Bashrah bersama gurunya Ibnu Fairuz, akibat keganasan yang dilakukan oleh Salafi Wahabi.
9. Al-Allamah al-Qadi Utsman bin Manshur an-Nashiri (w 1282 H), seorang qadi daerah Sudair dan Hail pada masa Turki ibnu Abdullah ibnu Faishal bin Turki. Dia berpendapat cukup keras tentang Salafi Wahabi dan mengatakannya sebagai Khawarij akhir zaman. Dia menulis beberapa buku yang membantah kesesatan faham Salafi Wahabi seperti kitab Jala al-Ghummah ‘an Takfir Hadzihi al-Ummah. Karena tulisannya itu, para ulama Wahabi mengecam keras dan mengkafirkannya.
10. Al-Allamah Utsman bin Sinad al-Bashri (w 1250 H), dia berpendapat bahwa Wahabi mengkafirkan seluruh umat ini akibat ajaran bid’ah dan pemusyrikan yang mereka lakukan.
11. Al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Sulaiman al-Kurdi, seorang Mufti Syafiiyah di Madinah Munawarah. Beliau adalah gurunya ibnu Abdul Wahab yang juga mengecam keras dakwah muridnya dengan menulis buku berjudul Masa`il wa Ajwibah wa Rudud ‘ala al-Khawarij dan kitab ar-Rad ‘ala Muhammad ibni Abd al-Wahhab.
12. Asy-Syaikh al-Allamah Marbad bin Ahmad at-Tamimi (w 1171 H). Dia adalah seorang qadi dan tokoh ulama besar negeri Najd. Tewas dibunuh oleh sekte Salafi Wahabi di kota Raghbah.
13. Asy-Syaikh al-Allamah Ahmad bin Ali an-Nushrani al-Qabbani. Dalam menentang dakwah Ibnu Abdul Wahab, dia menulis buku berjudul Fashl al-Khithab fi Rad Dhalalat Ibnu Abdul Wahab.
14. Al-Allamah Ibnu as-Safaraini an-Nablusi al-Hanbali (w 1188 H). Dia membantah faham Salafi Wahabi melalui bukunya yang berjudul al-Ajwibah an-Najdiyah ‘an al-As`ilah an-Najdiyah.
15. Al-Allamah Imam ash-Shan’ani (w 1182). Dia mengecam ajaran Muhammad bin Abdul Wahab dan meralat pujiannya atas dakwah Salafi Wahabi setelah dia menyadari bahwa dakwah Wahabi sangat keras dan penuh dengan akidah tajsim terhadap Allah s.w.t yang itu dilarang. Dia menulis syair kasidah sebagai bukti penolakannya terhadap sekte yang menurutnya sangat sesat dan jauh dari ajaran Islam.
16. Syaikh Saif bin Ahmad al-‘Utaibi (w 1189 H).
17. Syaikh Shalih bin Abdullah ash-Sha`ig (w 1183 H).
18. Al-Allamah Abdullah bin Daud az-Zubairi (w 1225 H).
19. Al-Allamah Alawi bin Ahmad al-Haddad al-Hadhrami (w 1232 H)
20. Al-Allamah Muhammad bin Abdullah Kiran al-Maghribi (1227 H)
21. Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Adwan (w 1179 H)
22. Al-Allamah Hasan bin Umar asy-Syathiy ad-Dimasyqi (w 1247 H)
23. Al-Allamah Muhammad bin Abdullah, seorang Mufti Makkah bermazhab Hanbali yang hidup tidak jauh dari masa Ibnu Abdul Wahab turut menyaksikan kesesatan dan tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan oleh keturunan Ibnu Abdul Wahab. Dia mengungkapkan rasa keberatan dan penolakannya terhadap faham yang satu ini melalui bukunya yang berjudul as-Sahb al-Wabilah ‘ala Dhara`ih al-Hanabilah.
24. Syaikh al-Islam Ismail at-Tamimi al-Maliki at-Tunisi, ulama besar Tunis (w 1248 H). Dia menulis beberapa buku membantah Ibnu bin Abdul Wahab, di antaranya adalah kitab ar-Radd ‘ala Ibni Abd al-Wahhab (buku ini telah dicetak ditunis) dan kitab al-Minah al-Ilahiyah fi Thams adh-Dhalalah al-Wahhabiyah. Buku kedua ini berupa manuskrip tersimpan di Dar al-Kutub al-Wathaniyah Tunis dengan nomor 2785. Kopi naskahnya tersimpan di Institut Manuskrip Arab, Cairo, Mesir, dan telah dicetak.
25. Syaikh Ibrahim bin Abdul Qadir ath-Thrablisi ar-Rayyahi at-Tunisi al-Maliki dari kota Tastur (w 1266 H). Bukunya yang membantah faham Salafi Wahabi adalah ar-Rad ‘ala al-Wahhabiyah.
26. Syaikh Muhammad ibnu Nashir al-Hazimi al-Yamani (w 1283 H). Dia menulis buku yang menolak akidah Salafi Wahabi berjudul Risalah fi Musyajarah baina Ahl Makkah wa Ahl Najd fi al-Aqidah. Manuskrip ini ada di Maktabah al-Kattaniyah/Rubath dengan nomor induk pencatatan 1/30 group kaf.
27. Syaikh Muhammad ‘Athaullah bin Muhammad bin Ishaq, digelari sebagai Syaikh Islam Romawi (w 1226 H). Menulis buku membantah Wahabi berujudul Syarh ar-Risalah ar-Raddiyyah ‘ala Tha`ifah al-Wahhabiyah.
28. Syaikh Muhammad Ibnu Abdullah Ibn Humaid an-Najdi al-Hanbali, Mufti Mazhab Hanbali di Makkah al-Mukarramah (w 1295 H).
29. Syaikh Daud bin Sulaiman an-Naqsyabandi al-Baghdadi al-Hanafi (w 1299 H). Menulis buku bantahan atas faham Salafi Wahabi yang mengkafirkan umat Islam secara serampangan dengan Shulh al-Ikhwan fi ar-Rad ‘ala man Qal ‘ala al-Muslimin bi asy-Syirk wa al-Kufran dan kitab al-Minhah al-Wahhabiyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah. Buku terakhir ini telah dicetak di Bombai pada tahun 1305.
30. Al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi. Beliau membantah sangat keras atas kesesatan Salafi Wahabi melalui bukunya yang berjudul Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar. Sebagai contoh, pada halaman 262 dia menyatakan, “Pembahasan tentang Para Pengikut Ibnu Abdul Wahab adalah Khawarij Zaman Kita: Mereka (Wahabi) mengkafirkan para sahabat Nabi s.a.w. …” Buku ini telah dicetak.
31. Al-Allamah ash-Shawi (w 1241 H) dalam kitabnya Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain. Pada halaman 78 dari buku itu dia membongkar kesesatan akidah Salafi Wahabi, namun kandungan kitab Tafsir ini dipalsukan sebagaimana dijelaskan pada pembahasan pemasluan kitab-kitab ulama.
32. Al-Allamah Nu’man bin Mahmud Khair ad-Din yang terkenal dengan sebutan Ibnu al-Alusi al-Baghdadi al-Hanafi (w 1317 H), buku sanggahannya atas faham ibnu Abdul Wahhab adalah al-Ajwibah an-Nu’maniyah ‘an al-As`ilah al-Hindiyah fi al-Aqa’id.
33. Al-Allamah Muhammad Hasan Shahib as-Sarhandi al-Majdadi (w 1346 H), membantah Salafi Wahabi dengan buku berjudul al-Ushul al-Arba’ah fi Tardid al-Wahhabiyah, buku ini telah dicetak.
34. Al-Allamah Ahmad Sa’id al-Faruqi as-Sarhandi an-Naqsyabandi (w 1277 H), buku bantahannya terhadap Wahabi adalah al-Haq al-Mubin fi ar-Rad ‘ala al-Wahhabiyyin dan kitab al-Aqwal fi ibni Abd al-Wahhab.
35. Al-Allamah al-Imam al-‘Aidrus. Beliau membantah faham Ibnu Abdul Wahab melalui buku di antaranya adalah Ajwibah fi Ziyarah al-Qubur, berupa manuskrip, tersimpan di Gudang Umum (khizânah ‘Âmah) di Rubath dengan nomor kode pencatatan 4/2577 group dal.
Inilah di antara para tokoh ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan ibnu Abdul Wahab yang membantah ajaran sesatnya. Tidak terbilang jumlah para tokoh ulama yang menolak ajaran Ibnu Abdul Wahab, karena terlalu banyaknya dan semua ulama mazhab menentangnya. Faham ibnu Abdul Wahhab ini telah dianggap sesat oleh mereka dan keluar dari ajaran Islam. Di antara ulama-ulama yang hidup tidak sezaman dengannya membantah faham sesatnya adalah:
36. Hadrah al-Ajall al-Afkham Al-‘Allamah Al-Jalil Al-Akram Al-Marhum as-Sayyid Ali al-Bablawi al-Maliki; Mantan Syaikh al-Jami’ al-Azhar (Syaikh Masjid Jami’ al-Azhar).
37. Al-‘Allamah al-Kamil Al-Fahhamah al-Fadhil Syaikh Mashayikh al-Hanafiyyah (Syaikh Para Ulama’ Mazhab Hanafi) dan Mantan Mufti Mesir al-Marhum al-Syaikh Abd al-Qadir ar-Rafi’i.
38. Syaikh al-Islam, Mahathth Nazr al-‘Anam Syaikh al-Jami’ Al-Azhar (Syaikh Masjid Jami’ al-Azhar) al-Syaikh Abd ar-Rahman asy-Syarbini.
39. Hadrah al-Ustaz al-Mukarram al-Allamah Al-Afkham U’jubah al-Zaman wa Marja’ al-Ummah fi Mazhab al-Nu’man Sahib al-Fadhilah al-Syaikh al-Bakri al-Sadafi, Mufti Mesir dan Ketua Ulama’ Mazhab al-Hanafi Al-Syaikh Muhammad Bakri Muhammad ‘Asyur as-Sadafi.
40. Hadrah al-Allamah Shams Bahjah al-Fudala’ wa Durrah Uqad Zawi al-Tahqiq al-Nubala’ al-Ustaz al-Fadhil wa al-Fahhamah al-Kamil al-Syaikh Muhammad Abd al-Hayy Ibn asy-Syaikh Abd al-Kabir al-Kattani Al-Hasani – di antara ulama’ yang teragung di Maghribi.
41. Hadrah al-Hasib al-Nasib al-Ha’iz min darari al-Majd aw fi nasib zi al-kamal al-Zahir wa al-‘Ilm al-Wafir as-Sayyid Ahmad Bek al-Husayni asy-Syafi’i al-Muhami al-Shahir – alim mazhab asy-Syafi’i.
42. Hadrah al-‘Allamah al-Kabir wa al-Fahhamah al-Shahir, Subhan al-Zaman wa Ma’din al-Fadl wa al-‘Irfan asy-Syaikh Sulayman al-‘Abd al-Shibrawi asy-Syafi’i al-Azhari – alim mazhab asy-Syafi’i.
43. Hadrah al-Allamah al-Lawza’I al-Fahhamah, Ma’din al-Kamal wa Insan ‘Ayan al-Fadl wa al-Jalal, asy-Syaikh Ahmad Hasanayn al-Bulaqi – salah seorang ulama’ mazhab asy-Syafi’i di Al-Azhar.
44. Hadrah al-‘Allamah Al-Fadhil wa al-Malazz al-Kamil asy-Syaikh Ahmad al-Basyouni – Syaikh Mazhab Hanbali di Al-Azhar.
45. Al-Allamah asy-Syaikh Said al-Muji al-Gharqi asy-Syafi’i al-Azhari - di antara ulama’ mazhab asy-Syafi’i di Al-Azhar.
46. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad al-Halabi asy-Syafi’i Al-Misri Al-Azhari – di antara ulama’ mazhab asy-Syafi’i di Al-Azhar.
47. Dan lain sebagainya semisal: Al-allamah asy-Syaikh al-Masyrafi al-Maliki al-Jazairi, Al-allamah asy-Syaikh Musthafa al-Himami al-Mishri, Al-allamah asy-Syaikh Hasan asy-Syaththi al-Hanbali, Al-allamah asy-Syaikh Atha al-Qasam ad-Dimasyqi, Al-allamah asy-Syaikh Muhammad Athallah ar-Rumi, Al-allamah asy-Syaikh Ibrahim ar-Rawi al-Iraqi, Al-allamah asy-Syaikh Abdul Wahab asy-Sya’roni.
b. Buku-Buku Ulama Terkemuka yang Membantah Faham Salafi Wahabi:
48. Kitab Tajrid Saif al-Jihad li Mudda’i al-Ijtihad karya al-Allamah Abdullah bin Abd al-Lathif asy-Syafi’i. Beliau adalah gurunya Ibnu Abdul Wahab yang telah membantah ajaran sesat muridnya itu.
49. Kitab ad-Durar as-Saniyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah Ahmad Zani Dahlan asy-Syafi’i, mufti Makkah (w 1304 H). Buku ini telah dicetak. Buku beliau yang lain adalah al-Futuhat al-Islamiyyah dan Fitnah al-Wahhabiyyah.
50. Kitab Ithaf al-Kiram fi Jawaz at-Tawassul wa al-Istighatsah bi al-Anbiya al-Kiram karya al-Allamah Muhammad bin asy-Syadi, berupa manuskrip di gudang al-Kattaniyah di Rubath dengan nomor 1143 group huruf kaf.
51. Kitab Ithaf Ahl az-Zaman bi Akhbar Muluk Tunis wa ‘Ahd al-Aman karya asy-Syaikh Ahmad bin Abu adh-Dhiyaf, buku ini telah dicetak.
52. Kitab Ihya al-Maqbur min Adillah Istihbab Bina al-Masajid wa al-Qubab ‘ala al-Qubur karya al-Allamah al-Hafizh Ahmad bin ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1380 H), buku ini telah dicetak.
53. Kitab al-Ishabah fi Nushrah al-Khulafa ar-Rasyidin karya al-Allamah asy-Syaikh Hamdi Juwaijati ad-Dimasyqi.
54. Kitab Izhhar al-‘Uquq min Man Mana’a at-Tawassul bi an-Nabi wa al-Wali ash-Shaduq karya al-Allamah al-Musyarrafi al-Maliki al-Jaza`iri.
55. Kitab al-Aqwal as-Saniyyah fi ar-Rad ‘ala Mudda’i Nushrah as-Sunnah al-Muhammadiyah karya al-Allamah al-Muhaddits Abdullah al-Ghimari, dikumpukan oleh asy-Syaikh Ibrahim Syahatah ash-Shiddiqi, buku ini telah dicetak.
56. Kitab al-Fajr al-Shadiq fi ar-radd ‘ala al-Mariq karya al-Allamah Al-Syaikh Daud al-‘Iraqi.
57. Kitab ash-Shawa’iq wa r-Rudad fî ‘Isyrina Kurrasan karya Afifuddin al-Hanbali, dan telah diringkas oleh Muhammad ibnu Basyir seorang Qadhi dari Ra`s al-Khaimah,
58. Kitab al-Aqwal al-Mardhiyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya al-allamah al-Faqih Atha al-Kasam ad-Dimasyqi al-Hanafi, buku ini telah dicetak.
59. Kitab al-Intishar li al-Awliya al-Abrar karya al-Allamah al-Muhaddits Thahir Sanbal al-Hanafi.
60. Kitab al-Awraq al-Baghdadiyah fi al-Jawabat an-Najdiyah karya al-Allamah Ibrahim ar-Rawi al-Baghdadi ar-Rifa’i, pimpinan tariqat ar-Rifaiyah di Baghdad, buku ini telah dicetak.
61. Kitab al-Bara`ah min al-Ikhtilaf fi ar-Radd ‘ala Ahl asy-Syiqaq wa an-Nifaq wa ar-Rad ‘ala al-Firqah al-Wahhabiyah adh-Dhallah karya al-Allamah Ali Zain al-Abidin as-Sudani, buku ini telah dicetak.
62. Kitab al-Barahin as-Sathi’ah fi Radd Ba’dhi al-Bida’ asy-Sya`i’ah karya al-Allamah Salamah al-Izhami (w 1379 H), buku ini telah dicetak.
63. Kitab al-Basha`ir li Munkiri at-Tawassul bi Ahl al-Maqabir karya al-Allamah Hamdallah ad-Dajawi al-Hanafi al-Hindi, buku ini telah dicetak.
64. Kitab Tarikh al-Wahhabiyah karya Ustadz Ayyub Shabri Basya ar-Rumi penulis buku Mira`ah al-Haramain. Di buku itu penulis mengungkapkan sejarah kelam berdarah yang telah dilakukan Salafi Wahabi.
65. Kitab Tabaruk ash-Shahabah bi Atsar Rasulillah karya Ustadz Muhammad Thahir bin Abd al-Qadir al-Kurdi, buku ini telah dicetak.
66. Kitab Tahdzir al-Khalaf min Makhazi Ad’iya as-Salaf karya al-Allamah Muhammad Zahid al-Kautsari, beliau adalah wakil al-Masyikhah al-Utsmaniyah (kumpulan tokoh ulama Turki Utsmani) di zamannya.
67. Kitab at-Tahrirat ar-Ra’iqah karya al-Allamah Muhammad an-Nafilati al-Hanafi, Mufti al-Aqsa asy-Syarif (w 1315 H), buku ini telah dicetak.
68. Kitab Tahridh al-Aghbiya ‘ala al-Isti’aghatsah bi al-Anbiya wa al-Awliya karya al-Allamah Abdullah bin Ibrahim al-Mirghani al-Hanafi, beliau tinggal di Thaif.
69. Kitab at-Tuhfah al-Wahhabiyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah Daud bin Sulaiman al-Baghdadi an-Naqsyabandi al-Hanafi (w 1299 H).
70. Kitab Tahthhir al-Fu`ad min Danas al-I’tiqad karya al-Allamah Muhammad Bukhait al-Muthi’i al-Hanafi, beliau adalah ulama al-Azhar, Mesir. Buku ini telah dicetak.
71. Kitab Taqyid Haul at-Ta’alluq wa at-Tawassul bi al-Anbiya wa ash-Shalihin karya al-Allamah al-Qadhi Ibnu Kiran al-Maghribi, kitab ini masih berupa manuskrip tersimpan di Gudang al-Jalawi di Rubath dengan nomor 153 group jim.
72. Kitab ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah al-Qadhi Ibnu Kiran al-Maghribi, masih berupa manuskrip di Maktabah al-Kattaniyah di Rubath dengan nomor 1325 group kaf.
73. Kitab Taqyid Haul Ziyarah al-Awliya wa at-Tawassul bi Him karya al-Allamah al-Qadhi Ibnu Kiran al-Maghribi, ulama yang baru saja disebut.
74. Kitab TaHakkum al-Muqallidin bi Man Idda’a Tajdid ad-Din karya al-Allamah Muhammad bin Abd ar-Rahman al-Hanbali.
75. Kitab at-Tawassul karya Mufti al-Allamah Muhammad Abd al-Qayyum al-Qadiri al-Hazarawi. Buku ini telah dicetak.
76. Kitab at-Tawassul bi an-Nabi wa ash-Shalihin karya al-Allamah Abu Hamid bin Marzuq ad-Dimasyqi asy-Syami, buku ini telah dicetak.
77. Kitab at-Taudhih ‘an Tauhid al-Khallaq fi Jawab Ahli al-‘Iraq ‘ala Muhammad bin Abd al-Wahhab karya Syaikh Abdullah Afandi ar-Rawi. Buku ini masih berupa manuskrip di Universitas Cambridge, London, dengan judul Radd al-Wahhabiyah. Kopian naskah ini juga terdapat di Maktabah al-Awqaf, Baghdad, Irak.
78. Kitab Jalal al-Haq Kasyf Ahwal Asyrar al-Khalq karya al-Allamah Ibrahim Hilmi al-Qadiri al-Iskandari, buku ini telah dicetak.
79. Kitab al-Jawabat fi az-Ziyarah karya al-Allamah Ibnu Abd al-Razzaq al-Hanbali. Sayyid Alawi ibnu Haddad berkata, “Dalam buku ini aku dapati jawaban-jawaban para ulama besar dari empat mazhab yang berasal dari Makkah, Madinah, Ahsa, Bashrah, Baghdad, Halab, Yaman, dan negeri-negeri Islam lain dengan jawaban yang sangat baik dan gamblang.”
80. Kitab al-Haqa`iq al-Islamiyah fi ar-Rad ‘ala al-Maza’im al-Wahhabiyah bi Adillah al-Kitab wa as-Sunah an-Nabawiyah karya Ustadz Malik ibnu Syaikh Mahmud, pimpinan Madrasah al-Irfan di kota Kotbali, Republik Mali, Afrika. Buku ini telah dicetak.
81. Kitab al-Haqiqah al-Islamiyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya Ustadz Abd al-Ghani bin Shalih Hamadah, buku ini telah dicetak.
82. Kitab ad-Dalil al-Kafi fi ar-Rad ‘ala al-Wahhabi karya al-Allamah Mishbah ibnu Ahmad Syibqalu al-Bairuti. Buku ini telah dicetak.
83. Kitab ar-Ra`iyah ash-Shughra fi Dzamm al-Bid’ah wa Madhi as-Sunnah al-Gharra karya al-Allamah Al-Qadhi asy-Syaikh Yusuf al-Nabhani al-Shafi’i (w 1350 H); Qadhi Mahkamah Syariah (Ketua Mahkamah Tinggi di Beirut).
84. Kitab Radd ‘ala Ibni Abd al-Wahhab karya al-Allamah Ahmad al-Mishri al-Ahsa`i.
85. Kitab Radd ‘ala Ibni Abd al-Wahhab karya al-Allamah asy-Syaikh Barakat asy-Syafi’i al-Ahmadi al-Makki.
86. Kitab ar-Rad ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah Shalih al-Kawwasy at-Tunisi, buku ini telah dicetak.
87. Kitab ar-Rad ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah Shalih Muhammad Shalih az-Zamzami asy-Syafi’i, Imam Maqam Ibrahim, Makkah al-Mukarramah.
88. ar-Rad ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah Abd al-Muhsin al-Usyaiqiri al-Hanbali, Mufti kota az-Zubair di Bashrah.
89. ar-Rad ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah al-Makhdum al-Mahdi, Mufti Fas.
90. Kitab ar-Rudud ‘ala Muhammad ibni Abd al-Wahhab karya al-Allamah al-Muhaddits Shalih al-Filani al-Maghribi. Sayyid Alawi ibnu al-Haddad berkata, “Buku tebal ini berisi tentang risalah-risalah dan jawaban-jawaban dari para ulama empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, mereka semua membantah Muhammad bin Abdul Wahab dengan begitu mengagumkan.”
91. Kitab ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya Abu Hafsh Umar al-Mahjub, masih berupa manuskrip di Dar al-Kutub al-Wathaniyah di Tunis dengan nomor 2513 dan kopiannya juga terdapat di Institut Manuskrip-manuskrip Arab (Ma’had al-Makhthuthat al-Arabiyah) Cairo-Mesir, dan di Maktabah al-Kattaniyah, Rubath dengan nomor 1325 group kaf.
92. Kitab ar-Radd ‘ala Muhammad ibni Abd al-Wahhab karya al-Allamah Abdullah al-Qadumi al-Hanbali an-Nablusi, tokoh ulama terkemuka mazhab Hanbali di dataran Hijaz dan Syam (w 1331 H). Dia juga menulis buku berjudul ar-Rihlah al-Hijaziyah wa ar-Riyadh al-Unsiyah fi al-Hawadits wa al-Masa`il yang di dalamnya terdapat bantahan keras atas faham Ibnu Abdul Wahab yang menurutnya Khawarij. Buku ini telah dicetak.
93. Kitab Risalah fi Ta`yid Madzhab ash-Shufiyah wa ar-Rad ‘ala al-Mu’taridhin ‘alaihim karya al-Allamah Salamah al-Azami (w 1379 H). Buku ini telah dicetak.
94. Kitab Risalah fi Tasharruf al-Awliya karya al-Allamah Yusuf ad-Dajwi, buku ini telah dicetak.
95. Kitab Rislah fi Jawaz at-Tawassul fi ar-Radd ‘ala Muhammad ibni Abd al-Wahhab karya al-Allamah Mufti Fas; Syaikh Mahdi al-Wazinani.
96. Kitab Risalah fi Jawaz al-Istighatsah wa at-Tawassul karya al-Allamah Yusuf al-Baththah al-Ahdal az-Zubaidi, tinggal di Makkah al-Mukarramah. Dalam bukunya itu dia mengatakan, “Tidaklah dianggap seseorang yang keluar dari kelompok besar umat Islam dan menyelisihi jumhur ulama, serta memisahkan diri dari jamaah umat Islam, dia termasuk ahli bidah.”
97. Kitab Risalah fi ar-Rad ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah Qasim Abu al-Fadhl al-Mahjub al-Maliki.
98. Kitab Risalah fi Hukm at-Tawassul bi al-Anbiya wa al-Awliya karya al-Allamah Muhammad Hasanain Makhluf al-Adwi al-Mishri, Wakil Rektor Universitas al-Azhar. Buku ini telah dicetak.
99. Kitab Risalah fi Musyajarah bain Ahl Makkah wa Ahl Najd fi al-Aqidah karya al-Allamah Muhammad ibnu Nashir al-Hazimi al-Yamani (w 1283 H). Berupa manuskrip di Maktabah al-Kattaniyah di Rubath dengan nomor 1/30 group kaf.
100. Kitab ar-Risalah al-Mardhiyah fi ar-Radd ‘ala Man Yunkir az-Ziyarah al-Muhammadiyah karya Syaikh Muhammad as-Sa’di al-Maliki.
101. Kitab Raudh al-Majal fi ar-Radd ‘ala Ahl adh-Dhalal karya al-Allamah Abdurrahman al-Hindi ad-Dilhi al-Hanafi (w 1327 H). Buku ini telah dicetak.
102. Kitab Sabil an-Najah min Bid’ah Ahl az-Zaigh wa adh-Dhalalah karya al-Allamah al-Qadhi Abdurrahman Quti.
103. Kitab Sa’adah ad-Darain fi ar-Radd ‘ala al-Firqatain: al-Wahhabiyah wa Muqallidah azh-Zhahiriyah karya al-Allamah Ibrahim bin Utsman bin Muhammad as-Samanwadi al-Manshuri al-Mishri. Buku ini telah di cetak di Mesir pada tahun 1320 H dalam dua jilid.
104. Kitab Sana` al-Islam fi A’lam al-Anam fi Aqa`id Ahl al-Bait al-Kiram Raddan ‘ala Abd al-Aziz an-Najdi fi ma Irtakabah min al-Awham karya al-Allamah Ismail ibnu Ahmad az-Zabidi.
105. Kitab as-Saif al-Batir li ‘Unuq al-Munkir ‘ala Akabir karya al-Allamah as-Sayyid Alawi ibnu Ahmad al-Haddad (w 1222 H).
106. Kitab as-Suyuf ash-Shiqal fi A’naq Man Ankar ‘ala al-Awliya ba’da al-Intiqal karya seorang ulama dari Bait al-Maqdis.
107. Kitab as-Suyuf al-Musyriqah li Qath’i A’naq al-Qa`ilin bi al-Jihah wa al-Jismiyah karya al-Allamah Ali bin Muhammad al-Mili al-Jamali at-Tunisi al-Maghribi al-Maliki.
108. Kitab ash-Sharim al-Hindi fi ‘Unuq an-Najdi karya al-Allamah Atha al-Makki.
109. Kitab Shidq al-Khabar fi Khawarij al-Qarn ats-Tsani Asyar fi Itsbat anna al-Wahhabiyah min al-Khawarij karya al-Allamah asy-Syarif Abdullah bin Hasan Basya bin Fadhl Basya al-Alawi al-Husaini al-Hijazi, seorang Emir Zhaffar. Buku ini telah dicetak di Ladziqah, Turki.
110. Kitab Shulh al-Ikhwan fi ar-Radd ‘ala Man Qal ‘ala al-Muslimin bi asy-Syirk wa al-Kufran: fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah li Takfirihim al-Muslimin karya al-Allamah Daud bin Sulaiman an-Naqsyabandi al-Baghdadi al-Hanafi (w 1299 H).
111. Kitab ash-Shawa`iq wa ar-Ru’ud karya al-Allamah Afif ad-Din Abdullah ibnu Daud al-Hanbali. al-Allamah Alawi bin Ahmad al-Haddad berkata, “Dalam buku ini disertai dukungan dan kata pengantar dari para tokoh ulama terkemuka Bashrah, Baghdad, Halab, Ahsa dan para ulama lainnya.”
112. Kitab Dhiya ash-Shudur li Munkir at-Tawassul bi Ahl al-Qubur karya Syaikh Zhahir Syah Miyan ibnu Abdu al-Azhim Miyan. Buku ini telah dicetak.
113. Kitab al-‘Aqa`id at-Tis`u karya al-Allamah Ahmad bin Abd al-Ahad al-Faruqi al-Hanafi an-Naqsyabandi. Buku ini telah dicetak.
114. Kitab al-‘Aqa`id ash-Shahihah fi Tardid al-Wahhabiyah an-Najdiyah karya al-Allamah al-Hafizh Muhammad Hasan as-Sarhandi al-Majdadi. Buku ini telah dicetak.
115. Kitab Aqd Nafis fi Radd Syubuhat al-Wahhabi at-Ta’ayyus karya al-Allamah Ismail Abu al-Fida at-Tamimi at-Tunisi, seorang faqîh dan ahli sejarah.
116. Kitab Ghauts al-Ibad bi Bayan ar-Rasyad karya al-Allamah Mushtafa al-Himami al-Mishri. Buku ini telah dicetak.
117. Kitab Fitnah al-Wahhabiyah karya al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan asy-Syafi’i (w 1304 H), seorang Mufti Haramain (Makkah dan Madinah), pengajar di Masjid al-Haram di Makkah. Buku ini kutipan dari bukunya yang berjudul al-Futuhat al-Islamiyah yang dicetak di Mesir tahun 1354 H.
118. Kitab Furqan al-Qur`an karya al-Allamah Salamah al-Azzami al-Qadha’I asy-Syafi’i al-Mishri. Dalam buku ini penulis menjelaskan kesesatan faham tajsim Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahab.
119. Kitab Fashl al-Khithab fi Radd ‘ala Dhalalat ibnu Abd al-Wahab karya al-Allamah Ahmad bin Ali al-Bashri, yang masyhur dikenal dengan nama al-Qabbani asy-Syafi’i.
120. Kitab al-Fuyudhat al-Wahhabiyah fi ar-Radd ‘ala ath-Tha`ifah al-Wahhabiyah karya Abu al-Abbas Ahmad ibnu Abd as-Salam al-Bannani al-Maghribi.
121. Kitab Qashidah fi ar-Radd ‘ala ash-Shan’ani fi Madhi ibnu Abd al-Wahhab karya al-Allamah Ibnu Ghalbun al-Libi.
122. Kitab Qashidah fi ar-Radd ‘ala ash-Shan’ani fi Madhi ibnu Abd al-Wahhab karya al-Allamah Mushthafa al-Mishri al-Bulaqi.
123. Kitab Qashidah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah Abd al-Aziz al-Qurasyi al-Alaji al-Maliki al-Ahsa`i.
124. Kitab Qam’u Ahl az-Zaigh wa al-Ilhad ‘an ath-Tha’n fi Taqlid A`imah al-Ijtihad karya Mufti Madinah al-Munawwarah; al-Allamah al-Muhaddits Muhammad al-Khadr asy-Syanqithi (w 1353 H).
125. Kitab Muhiq at-Taqawwul fi Mas`alah at-Tawassul karya al-Allamah Muhammad Zahid al-Kautsari.
126. Kitab al-Madarij as-Sunniyyah fi Radd al-Wahhabiyah karya al-Allamah ‘Amir al-Qadiri, dosen di Dar al-Ulum al-Qadiriyah, Karachi, Pakistan. Buku ini telah dicetak.
127. Kitab Mishbah al-Anam wa Jala` azh-Zhalam fi Radd Syibhi al-Bida’i an-Najdi allati Adhalla biha al-Awwam karya al-Allamah as-Sayyid Alawi ibnu Ahmad al-Haddad (w 1222 H). Buku ini telah dicetak oleh Mathba’ah al-‘Amirah Mesir tahun 1325.
128. Kumpulan Makalah karya al-Allamah Yusuf Ahmad ad-Dajwi, salah seorang ulama besar al-Azhar Mesir (w 1365 H).
129. Kitab al-Maqalat al-Wafiyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya al-Allamah Hasan Qazbik. Buku ini dicetak dengan disertai kata pengantar dari al-Allamah Yusuf ad-Dajwi.
130. Kitab al-Manhal as-Sayyal fi al-Haram wa al-Halal karya al-Allamah Mushthafa al-Mishri al-Bulaqi.
131. Kitab Nashihah Jalilah li al-Wahhabiyah karya al-Allamah as-Sayyid Muhammad Thahir al-Mala al-Kayali ar-Rifa’i, tokoh ulama Asyraf Adlab. Kumpulan nasehat ini telah dikirim kepada pihak Salafi Wahabi. Buku ini dicetak di Adlab.
132. Kitab an-Nuqul asy-Syar’iyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah karya asy-Syaikh Musthafa bin Ahmad asy-Syathiy al-Hanbali ad-Dimasyqi. Buku ini telah dicetak di Istanbul, Turki, tahun 1406.
133. Kitab Yahuda la Hanabilah karya al-Allamah al-Ahmadi azh-Zhawahiri, Syaikh al-Azhar Mesir.
134. Kitab Bara’ah asy-Syi’ah min Muftarayat al-Wahhabiyah karya al-Allamah Prof. Muhammad Ahmad Hamid as-Sudani.
135. Kitab al-Wahhabiyyun wal Buyut al-Marfu’ah karya Syaikh Muhammad Ali al-Kurdistani.
136. Kitab al-Wahhabiyah wa al-Tauhid karya Syaikh Ali al-Kurawani.
137. Kitab al-Wahhabiyah fi Shuratiha al-Haqiqiyah karya Syaikh Sha’ib Abdul Hamid.
138. Kitab Kasyf al-Irtiyab fi Atba’ Muhammad bin Abdil Wahhab karya Syaikh Muhsin al-Amin.
139. Kitab Hadzihi Hiya al-Wahhabiyah karya Syaikh Muhammad Jawwad.
140. Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri ad-Diyubandi dalam kitabnya Faidh al-Bari ‘ala Shahih al-Bukhari 1/170 cetakan Mesir mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang idiot, sedikit ilmunya. Dia suka sekali mengkafirkan orang. Padahal tugas menilai seseorang itu telah kafir adalah ulama yang benar-benar mengerti seluk-beluk, syarat dan rukunnya.”
141. Dan masih banyak lagi kitab-kitab terpercaya lainnya. Ulama-ulama di atas belum termasuk ulama-ulama kontemporer saat ini yang membantah faham menyimpang Salafi Wahabi.http://mahesakujenar.blogspot.com/2010/01/madzhab-taqlid-talfiq.html
MADZHAB TAQLID TALFIQ
Bismillah, semoga ini bisa menjelaskan apa itu "Madzhab"
Dalam kehidupan beragama, istilah madzhab sudah lazim kita dengar. Dan sudah menjadi kesepakatan bahwa dalam fiqh, NU berpegangan pada salah satu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Madzhab Hambali. Hal ini berarti semua warga Nahdliyyin diberi kebebasan untuk mengikuti salah satu aturan yang berlaku dalam empat madzhab tersebut.
Secara bahasa madzhab berarti jalan. ”Madzhab berarti jalan” (Al- Qamus al-Muhith 86). Sedangkan pengertian madzhab secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainal Abidin Dimyathi dalam kitabnya al-Idza’ah al-Muhimmah adalah ”Madzhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” (Al-Idza’ah al-Muhimmah, 18)
Madzhab tidak akan terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih terjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Jadi, madzhab itu merupakan hasil elaborasi (penelitian secara mendalam) para ulama untuk mengetahui hukum tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Dan sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada empat saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid ’Alawi bin Ahmad al-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, ”(Sebenarnya) yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama yang boleh diikuti, seperti madzhab dua Sufyan (Sufyan al-Tsauri dan Sufyan bin Uyainah), Ishaq bin Rahawaih, Imam Dawud al-Zhahiri, dan al-Awza’i.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah. 59)
Namun mengapa yang diakui serta diamalkan oleh ulama golongan Ahl al Sunnah wa al Jama’ah hanya empat madzhab saja?
Sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid-murid mereka yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga pendapat imam tersebut dapat terkodifikasikan dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shahihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematisasi dengan baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebagaimana yang diuraikan oleh Sayyid Alwi bin Ahmad al-Seggaf, ”Sesungguhnya ulama dari kalangan madzhab Syafi’i RA menjelaskan bahwa tidak boleh bertaqlid kepada selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat. Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if”. (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, 59)
Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus-menerus berusaha untuk membangkitkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tidak dapat dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam di tuntut untuk dapat berkreasi dalam memecah berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ’baru’ guna membuktikan slogan shaliha likulli makaa na wazamaani. Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab metodologis (madhzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana yang digagas oleh DR. KH. Sahal Mahfudh.
Ada beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab kontekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH.Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003)
Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min-al nas), tetapi tidak bisa masuk kepada khaliqnya (hablum minallah). Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal hamba dengan Sang Khalik. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah menyembah kepada-Nya. Sebagaimana kaidah yang diungkapkan oleh al-Syathibi al-Muwafaqat-nya “Yang asal dalam masalah ibadah adalah ta’abbud (dogmatis) tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal 300)
Dari penjelasan sederhana ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan.
1. Madzhab merupakan sebuah ’jalan’ yang ’disediakan’ oleh para mujtahid sebab adanya perbedaan pendapat di antara mereka.
2. Umat Islam tidak terikat pada satu madzhab tertentu dan mereka diberi kebebasan untuk memilih madzhab.
3. Namun, yang berhak diikuti hanya terbatas pada empat madzhab saja, yakni madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Hal ini disebabkan kodifikasi dasar dan metode hukum yang mereka ambil sangat valid dan terjaga serta diakui umat muslim keseluruhan.
4. Umat Islam perlu mengembangkan pola bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat, khususnya dalam masalah sosial kemasyarakatan.
Dalam hal perbedaan ini, sangat dilarang adanya fanatisme bermadzhab yang dapat menimbulkan sikap menyalahkan atau bahkan mengkafirkan madzhab lain, mengingat Imam Syafi’i sendiri begitu menghormati Imam Malik, gurunya, begitu juga sebaliknya, Imam Hanbali yang menghormati gurunya, Imam Syafii, dan begitu pula sebaliknya. Bahkan terhadap salah satu Imam madzhab empat yang diikuti, para Imam Mujtahid setelah mereka memiliki perbedaan pendapat pada beberapa hal. Sebagai contoh, diantaranya pendapat yang dipegang Imam Nawawi dengan Imam madzhab yang beliau ikuti, Imam Syafi’i, yang berbeda dalam hal kenajisan babi yang mana Imam Syafii memfatwakan Najis babi termasuk Najis Mughaladhoh dan tidak dengan Imam Nawawi yang justru meringankan Najis babi dengan satu siraman saja.
Sangat dituntut supaya kita tidak bersikap fanatis berlebihan (merasa madzhab sendirilah yang paling benar) maupun sikap kebalikannya yaitu sikap tala’ub (main-main) dalam hukum agama tanpa didasari alasan yang dibenarkan sehingga mudah berpindah madzhab untuk mencari gampangnya suatu permasalahan atau bahkan menetapkan dengan keputusan sendiri yang acapkali tidak menggunakan dasar yang ditetapkan tetapi justru dengan hawa nafsu.
##### TAQLID #####
Secara kodrati, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Ada yang ’alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada ’awam (yang kurang mengerti dan memahami tentang suatu permasalahan). Sudah tentu yang tidak paham butuh bantuan yang pintar. Di dalam literatur fiqh, hal itu dikenal dengan istilah Taqlid atau ittiba.
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi mengidentifikasikan taqlid sebagai berikut ”Taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.” (Al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah al-syari’ah al-Islamiyyah, 69)
Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid. Imam al-Suyuthi mengatakan ”Kemudian, manusia itu ada yang menjadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam maupun yang alim. Berdasarkan firman Allah SWT (QS. Al-Anbiya’ 7), ”Bertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.” (Al-Kawkab al-Sathi’ fi Nazhmi al-Jawami 492)
Dengan demikian, yang bertaqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang alim yang sudah mengetaui dalilpun masih dalam katagori seorang muqallid. Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum. Al –Allamah Thayyib bin Abi Bakr al-Hadhrami menegaskan “Orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka sebagaimana orang awam, mereka wajib ber-taqlid.” (Mathlab al- Iqazh fi al-Kalam al-Syai’in min Ghurar al-Alfazh 87)
Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta (a’ma) yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Sedangkan taqlid-nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid adalah hal terpuji dan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada memaksakan diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Taqlid sesuatu yang niscaya bagi setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti orang-orang yang bersedekah, di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, dia tentu melakukannya walaupun masih belum meneliti dalilnya, apakah shahih ataukah tidak.
Jika di kemudian hari dia tahu argumetasinya, maka berarti dia telah keluar dari taqlid a’ma (taqlid buta) yang tercela itu. Namun demikian, dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid, karena dia tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail. Setidaknya, dalam cara mengambil kesimpulan hukum, ia masih mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu.
Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambil dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi, ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat, di hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitian dia sendiri. Dan begitu seterusnya.
Kemudian, bagaimana dengan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Imam Ahmad berkata kepadaku, ”Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’I, al-Awza’i, dan al-Tsauri. Tapi galilah dalil-dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan.” (Al-Qawl al-Mufid li al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani 61)
Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapa Imam Ahmad berbicara? Beliau menyampaikan ucapan itu kepada Abu Dawud pengarang kitab Sunan Abi Dawud yang memuat lima ribu dua ratus delapan puluh empat hadits lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar, kalau imam mengatakan hal itu kepada Imam Abu Dawud, sebab ia telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Waliyullah al-Dahlawi ketika mengomentari pendapat ibn Hazm “Pendapat Ibn Hazm yang mengatakan bahwa taklid itu haram (dan seterusnya)…itu hanya berlaku bagi orang yang mempunyai kemampuan ijtihad walaupun hanya dalam satu masalah.” (Hujatullah al-Baligah, juz I hal443-444)
Membebani awam al-Muslimin (masyarakat kebanyakan) dengan ijtihad sendiri-sendiri, jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap seseorang pada bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda. Sedangkan yang menekuni ilmu agama tidak banyak. Bagi yang tidak sempat mempelajari ilmu agama, ia harus bertanya dan mengikuti orang-orang yang paham tetang masalah agama.
Al-Qur’an sudah mengatakan agar ada sekelompok orang yang menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman:
“Tidak seharusnya semua orang mukmin berangkat ke medan perang. Mengapa tidak berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan untuk mempelajari dengan mendalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan (pelajaran) kepada kaumnya apabila mereka sudah kembali. Mudah-mudahan mereka waspada. (QS al-Taubah, 122)
Sahabat Nabi adalah orang-orang terpilih. Meskipun begitu, kualitas keilmuan mereka tidak sama, dan tidak semua menjadi mujtahid. Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian yang lain mengikuti apa yang difatwakan sahabat yang lain. Dan Rasulullah mengutus beberapa sahabat ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam serta menyelesaikan permasalahan yang terjadi, baik dalam ibadat dan mu’amalat, sosial kemasyarakatan, menjelaskan halal haram dan semacamnya. Lalu penduduk di daerah itu mengikuti apa yang difatwakan para sahabat tersebut.
Kaitannya dengan ittiba, sebagian orang ada yang membedakan dengan taqlid. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan dalam kedua kata itu. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al Buthi ”Tidak ada perbedaan kalau perbuatan itu disebut dengan taqlid atau ittiba’. Sebab dua kata itu mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adnya perbedaan secara bahasa antara keduanya.” (Al-Lamazhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyah,69)
Bahkan ittiba’ tidak selalu berarti baik. Tidak jarang di dalam al-Qur’an, ittiba’ ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah ”Dan janganlah kamu mengikuti (ittiba’) langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS-al Baqarah, 168)
Hal tersebut berarti taqlid merupakan sunatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya atau diperjuangkan untuk dihapus. Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap pada taqlid buta, karena akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam. Itulah sebabnya ulama pesantren mencetak ulama yang mumpuni.
#### TALFIQ ####
Dalam bertaqlid, umat Islam diberi kebebasan untuk memilih madzhab mana saja yang sesuai dengan hati nuraninya. Tapi kebebasan tersebut bukan tanpa kendali. Ada satu syarat, bahwa kebebasan ini jangan sampai terperangkap dalam talfiq. Karena mayoritas ulama tidak membenarkan adanya talfiq ini.
Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud talfiq secara syar’i adalah mencampuradukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan “(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadhiyah (masalah) baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yanag nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyyah yang tidak pernah dikatakan orang yang berpendapat.” (Tanwir al-Qulub 397)
Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:
a. Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu. Yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Imam Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.
b. Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena mengikut madzhab Imam Syafi’i. Lalu ia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan mengosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam Syafi’i, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga, anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu
Talfiq semacam ini dilarang dalam agama. Sebagaimana yang disebut dalam kitab I’anah al-Thalibin “Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut kepada Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap kepala untuk mengerjakan satu shalat.” (I’anah al-Thalibin, Juz I, hal 17)
Sedangkan tujuan pelarangan adalah agar tidak terjadi tatabbu al-rukhash (mencari yang gampang-gampang), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) dalam hukum agama.
Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahibul arba’ah yang relevan dengan kondisi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk masalah sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. Tuntutan kemaslahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Dengan begitu. Insya Allah hukum akan ditaati oleh pemeluknya. Tidak hanya tertera di atas tulisan semata.
semoga dg ini kita bisa bermadzhab dg benar..Aamiin Allaahumma Aamiin