Ads from Google

Friday, January 25, 2008

MFI vs LSF in Indonesian Film

Why do Dian Sastro, Riri Reza, Mira Lesmana, and Nia Dinata from MFI (indonesian film society) try to replace existing censorship organization with their movement? Dedy Mizwar said that the society have secretive agenda to promote sex and sadism. For some extent, I agree with Dedi. Behind her beauty of Dian Sasto, she can be used by foreign party to promote something really bad for Indonesian film structure without noticed. People will start think Indonesia is not middle east country and it is more open and easier to promote sex and sadism, both are marketable and then sex or sadism will become part of our daily life.

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=319526&kat_id=3

Di sebuah ruang VIP Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau,
15 Desember lalu. Aktor kawakan Deddy Mizwar, yang biasanya berbicara
lembut penuh humor, tiba-tiba garang.

''Jangan jual harkat martabat bangsa ini demi rupiah. Jangan pula
memakai orang asing untuk melakukan pressure (tekanan) terhadap
Mahkamah Konstitusi (MK),'' ujar dia.

Pernyataan Deddy itu disampaikan sehari setelah acara puncak Festival
Film Indonesia (FFI) 2007 di Pekanbaru. Deddy murka, sebab sebagai
seorang sineas senior, merasa memiliki kewajiban untuk mengingatkan
rekan-rekannya yang tergabung di dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI)
supaya sadar.

Deddy menilai, kelompok sineas muda yang dimotori Riri Reza, Mira
Lesmana, dan Nia Dinata itu hanya menyimpan dua agenda utama dalam
mengibarkan panji-panji perjuangannya melakukan perubahan struktural
film nasional: ''Seks dan sadisme!''

Pernyataan Deddy itu setidaknya menjadi semacam benang merah untuk
menyimak perjuangan yang diusung MFI. Kelompok sineas muda ini sendiri
secara resmi diikrarkan tak lama setelah penyelenggaraan FFI 2006 yang
menyimpan kontroversi. Saat itu Deddy menjadi bagian dari penyokong
lahirnya MFI.

Para sineas bersatu di dalam wadah MFI karena merasa memiliki rasa
kecewa bersama melihat terpilihnya film Ekskul karya sutradara Nayato
Fionuala sebagai film terbaik FFI 2006. Padahal film itu dituding
telah melakukan pelanggaran hak cipta atas penggunaan sejumlah notasi
musik asing ke dalam filmnya. Puncaknya, para sineas melakukan protes
dengan cara mengembalikan tropi Citra.

Hanya dalam beberapa bulan, perjuangan MFI saat itu langsung
membuahkan hasil. Lewat tanda tangan Deddy Mizwar yang telah berstatus
sebagai ketua Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia (BP2N), maka
dicabutlah kemenangan film Ekskul.

Meninggalkan MFI
Namun kemesraan Deddy dan MFI itu luruh. Deddy bersama sejumlah sineas
yang turut membintangi film Nagabonar Jadi 2 seperti Tora Sudiro
justru secara tegas mengklaim tidak lagi menjadi bagian dari MFI.
'Perpecahan' di antara para sineas kian kentara, setidaknya jika
merujuk pada acara puncak FFI 2007.

Jauh hari sebelum acara puncak FFI 2007 dilaksanakan, MFI telah
menyampaikan sikap bahwa anggotanya tidak akan datang ke Riau. Namun
pada saat acara puncak, justru wajah-wajah sineas muda seperti Tora
Sudiro, Nirina Zubir, Dinna Olivia, dan Dwi Sasono terlihat di anjung
Idris Tintin, Pekanbaru. Sedangkan Hanung Bramantyo yang terpilih
sebagai sutradara terbaik tidak hadir. Hanung sendiri menjadi
satu-satunya wakil dari MFI yang meraih prestasi di level FFI.

Sementara itu, perjuangan yang kini kian getol diusung oleh MFI adalah
membubarkan LSF. Mereka menginginkan agar lembaga ini diganti menjadi
lembaga kualifikasi film. Lembaga semacam ini mirip seperti yang ada
di Amerika Serikat. Namun di negeri Paman Sam itu, lembaga kualifikasi
film hanya memainkan perannya untuk film bioskop. Sedangkan untuk film
televisi, sensor masih tetap diberlakukan.

Wujud dari keseriusan MFI membubarkan LSF telah diawali dengan
mendatangi kantor MK pada 10 Desember 2007. Momentum 'Hari HAM
Sedunia' itu dimanfaatkan mereka dengan memboyong sejumlah pelaku film
asing yang baru saja mengikuti hajatan Jakarta International Film
Festival (Jiffest). Lalu pada 9 Januari lalu, semangat untuk
membubarkan LSF kembali berkibar setelah pertemuan dengan pimpinan MK.

Ketua Fraksi Partai Golkar DPR, Priyo Budi Santoso, melihat keberadaan
LSF masih sangat diperlukan. ''Malahan harus diperkuat,'' katanya.
(akb/dwo )

No comments: